" LAMUT " SENI BERTUTUR BANJAR YG NYARIS SIRNA
Ada tiga kata kunci untuk mengenal lamut, pertama lamut merupakan nama sastra tutur banjar itu sendiri, kedua balamut yaitu kegiatan/pertunjukan sastra tutur lamut, dan yang ketiga palamutan adalah orang yang melakukan sastra tutur lamut.
Lamut adalah salah satu kesusastraan tutur yang ada pada masyarakat Banjar. Tapi walaupun ini adalah salah satu kesusastraan tutur Banjar namun bukan berarti masyarakat Banjar kenal dengan kesenian ini khususnya anak muda Banjar sendiri. Salah satu alasan tidak kenalnya anak muda banjar dengan seni tutur ini adalah jarangnya kesenian ini ditampilkan di acara-acara kesenian daerah.
Berdasarkan informasi, lamut ini adalah sebuah mahakarya dari seorang bangsa Tartar yang bekerja dan mengabdi pada kerajaan Sriwijaya sekitar abad VII – VIII Masehi. Pada zaman keemasan kerajaan Sriwijaya menjelang puncaknya inilah para sastrawan bangsa Tartar menulis kesusastraan dalam huruf cina. Pada malam hari, saat istirahat berdagang, mereka menghibur sanak keluarganya yang ikut berniaga sambil bertutur. Masyarakat setempat ikut menyaksikan hiburan ini walaupun tidak mengerti bahasanya.
Cerita yang sering dibawakan yaitu cerita lamut Dewantana. Kesusastraan tutur lamut ini sudah ada di Kalimantan Selatan sejak abad ke-13, pada masa kerajaan Negara Dipa. Kemudian, pada masa Pangeran Tumenggung menjadi raja di kerajaan Daha, cerita beraksara Cina tersebut dialihbahasakan ke dalam aksara Jawi dan pada masa kerajaan Banjar oleh Raden Ngabe Jayanegara ditulis ke dalam aksara Arab-Melayu.
Ketika Islam masuk ke Bandarmasih yang dibawa oleh Sultan Suriansyah, kesusastraan tutur Lamut ini banyak dipengaruhi oleh ajaran ketauhidan. Masyarakat mengasumsikan palamutan sebagai orang yang sangat tahu tentang keagamaan.
Seiring dengan pesatnya penyebaran agama Islam, kesenian yang bernafaskan Islami sangat berpengaruh pada perkembangan kebudayaan dan kesenian Banjar. Syair–syair dan pantun hidup kian berkembang dalam masyarakat. Dan Sastra Banjar Lamut juga mendapat tempat yang strategis dalam penyebaran Islam di masyarakat Banjar.
Ketika Sultan Suriansyah masuk Islam, banyak kebudayaan dan kesenian Jawa yaitu dari Demak berbaur pada kebudayaan dan kesenian Banjar, maka tak heran Lamut mendapat pengaruh juga dari Wayang Kulit yaitu dialognya mirip dialek wayang. Lamut bukan saja berkembang di seluruh pelosok Kalimantan Selatan tetapi juga sampai di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Sejak penghapusan kerajaan Banjar secara sepihak oleh kolonial Belanda pada 11 Juni 1860 balamut semakin meluas memasuki wilayah perkotaan. Sampai tahun 1900-an balamut masih bertahan. Memasuki tahun 1926 kesenian tradisional menjadi terdesak dan terpuruk karena film (bioskop) dan gramophone merambah kemasyarakat umum. Tahun 1942 kesenian balamut sudah jarang digelar di masyarakat umum karena kesenian tradisional menjadi alat propaganda Jepang dalam menjalankan penjajahannya.
Tahun 1945 – 1950 kesenian balamut mulai muncul kepermukaan dan mencapai puncak kejayaannya sekitar tahun 1960 – 1970. Namun di tahun 1972 keberadaan lamut kembali menurun dikarenakan masuknya tayangan televisi, hingga sekarang balamut terdesak dan terancam sirna di era globalisasi ini karena kemajuan teknologi dan digital.
Sebagai seni tutur, cerita adalah modal dasar dalam lamut dan juga menjadi modal untuk menyampaikan pesan-pesan moral untuk para penontonnya. Cerita lamut akan menjadi menarik ketika palamutan bisa mengembangkan cerita tutur lamut sesuai dengan bahasa keseharian penikmat seni tutur lamut. Tema cerita sangat luas dan tidak terbatas serta tak mengikat pada ruang dan waktu tapi lebih mengikat pada tempat dan tokoh para pemeran dalam cerita tersebut.
Namun pada hakekatnya tutur lamut mempunyai 10 babad yaitu: Sanghyang Batara Wedi, Prabu Awang Selenong, Raden Bungsu, Raden Kasan Mandi, Bujang Maluala, Bujan Busur, Bujang Jaya, Bambang Teja Aria, Bambang Indra Perkasa dan
Brama Syahdan.
Source : Banjar Culture™
UNDER MAINTENANCE